Menikmati PTT

Assalamualaikum wr wb.
Hallo bertemu kembali bersama saya dr. Lidya Hapsari dan suami saya dr. Aditiya Maulana Ginting.

Sekarang kami sudah tinggal di desa Tanjung Nanga, dan mungkin kami bakal jarang untuk ngeshare tentang kehidupan kami karena keterbatasan sinyal, bahkan kadang tidak ada sinyal sama sekali di kediaman kami. Kami benar-benar terisolir dari kehidupan medsos. Telpon dan sms pun susah.

Disini listrik hanya hidup pukul 17.00-00.00 wita. Selebihnya gelap gulita dan sangat panas di siang hari. (Mungkin mataharinya lebih dekat hehehe). Bercucuran keringat menetes, mengingatkan kami saat sauna.

Kami mulai perjalanan dari Malinau Kota menuju desa Long Loreh menggunakan 2 mobil ambulance bermerk ford. Kenapa ambulance disini bagus-bagus? Karena medan yang begitu menantang, jalanan berbatu, melewati hutan antah berantah yang tidak ada kehidupan dan tidak ada cahaya.

Saat perjalanan, mobil ambulance kami sempat mogok 2 kali dan harus di jump. Setelah perjalanan sekitar 1,5 jam dengan kecepatan 80-90km/jam (berasa naik offroad) tibalah kami di Puskesmas Long Loreh. Disini masih ada sinyal, tetapi untuk medsos, yaaaa jalannya seperti siput.

Tidak jauh dari Puskesmas Long Loreh, sekitar 10 menit, tibalah kami di RS suami yaitu RS Bergerak Langap. RS ini terbuat dari container, yang menurut cerita, RS ini diberikan WHO untuk Kab di daerah Kaltara yang lebih jauh lagi. Karena keterbatasan akses, sehingga RS container ini pun dihibahkan ke desa Langap.

Di RS Bergerak Langap juga susah sinyal, tapi alhamdulillahnya disini tersedia wifi. Tapi wifi hanya sekedar wifi, karena loadingnya super duper bikin emosi jiwa. Harus penuh kesabaran baru chat-chat masuk.

Perjalanan kami lanjutkan ke rumah dinas (rumdin) kami dan tempat saya berkerja yaitu Puskesmas Pembantu (Pustu) Tanjung Nanga yang memakan waktu sekitar 30 menit. Jalanannya tetap sama, jalanan berbatu dan berdebu.

Rumah dinas kami terbuat dari kayu, dan semua rumah masyarakat disini pun begitu. Sampai di kediaman, kami langsung membereskan barang-barang yang kami bawa.

Tidak lama berselang datanglah 2 anak bocah bernama Melis dan Tiwi yang disusul oleh anak-anak yang lain. Mereka membantu kami membereskan rumah, memasak (mereka sangat jago memasak), mencuci baju, menjemur.

Keesokan harinya, saya memperkenalkan diri di depan masyarakat desa Tanjung Nanga setelah mereka selesai beribadah di Gereja. Menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya selama 1 tahun ke desa ini.

FYI, 90% kali yaaaa, masyarakat disini non Muslim. Bahkan saya belum pernah melihat 1 orangpun yang menggunakan kerudung selain saya. Dan kami pun tidak pernah mendengar adzan. Sedih. Sungguh sedih.

Selama disini, kami sudah disambut dengan ubi kayu, kue bolu, kolak ubi, pisang goreng, yang mereka buat untuk kami.

Sayapun diajarkan memasak menggunakan kayu bakar oleh ibu RT. Karena sebagian besar masyarakat tidak mempunyai gas dan ketersediaan kayu bakar yang melimpah. So.... mereka memanfaatkan itu.

Untuk memasak nasi, biasanya saya memasak di malam hari menggunakan ricecooker, kemudian nasi dimasukkan ke dalam daun pisang buat di makan di pagi dan siang hari esok. Nasi tetap awet dan tidak basi.

Selama kami di rumdin pun, sudah banyak pasien yang datang berobat, karena mereka tidak mau ke Pustu yang tempatnya lebih jauh dari rumah warga. Sayangnya, kami tidak membawa obat-obatan sendiri untuk dipakai di rumah.

Semoga saya dan suami menikmati tinggal di desa ini, yang jauh dari kehidupan kota. Kami bisa bercakap berdua tanpa hp, tanpa tv, tanpa radio.  Bercanda berdua, memulai kehidupan yang bahagia walau dari "bawah".

dr. Lidya Hapsari
dr. Aditiya Maulana Ginting

Komentar

Postingan Populer